Kisah Perjalananku
Aku bertanya pada bulan, apakah dia merasa berat harus menanggung cahaya matahari setiap malam ? Bersinar namun sejatinya dia gelap ? Apakah tidak merasa berdosa memberi terang yang palsu ? Cantik rupa namun sebenarnya dia tidak berwajah.
Bulan tersenyum padaku seraya berkata, hai..kenapa kamu berpikir seperti itu ? Ini adalah tugasku. Tuhan memberikan tugas ini padaku. Maka aku harus patuh pada ketetapanNYA. Walaupun aku harus tampil dengan sinar sang matahari, namun aku bahagia karena masih bisa memberi cahaya pada sang gulita malam. Memberi panduan jalan pada makhluk yang tak bisa menembus pekatnya malam. Walau di siang hari aku tak terlihat karena tersapu sinar mentari, namun aku yakin jejak terangku di malam hari pasti akan ada yang mengingatnya. Walau mungkin tak banyak. Bersyukur saja. Dengan bersyukur kita akan merasa cukup dan selalu bahagia.
Aku kembali berjalan . Sekarang aku bertemu semut. Aku bertanya padanya, apakah dia tidak merasa menjadi yang paling tertindas setiap hari ada yang menginjaknya? Dimusuhi banyak manusia karena selalu membuat rumahnya jadi cepat rusak? Membuat makanannya jadi tidak lagi membangkitkan selera karena dikerubungi mereka ? Membuat manusia gatal gatal kalo digigit olehnya.
Semut berkata padaku, Kamu kenapa bertanya seperti itu? Kamu pikir kami akan stress dan menjadi gila menghadapi kenyataan itu ? Oh tidak, kamu salah. Kami tidak pernah merasa tidak berguna. Tuhan sudah menciptakan kami bahkan menyebut kami menjadi nama salah satu surat dalam kitabnya. An Naml artinya semut. Tuhan begitu spesial melihat kami sehingga menyebut kami dalam kitabnya. Jika tidak ada kami, tanah tidak akan subur, kami memakan serangga dan limbah organik. Kami makhluk paling tertib. Kami bahagia menjadi semut. Meski kecil, kami besar manfaatnya.
Aku pun berlalu, kembali berjalan menyusuri gurun. Di tengah perjalanan aku bertemu sekawanan gajah. Aku berhenti dan memutuskan bertanya pada mereka. Aku bertanya, hai gajah apakah kamu merasa nyaman di kehidupan? Kamu suka diganggu manusia, suka dibunuh dan habitatmu suka diganggu. Hingga tempat tinggalmu makin sempit. Apakah kamu bisa menikmati hidupmu?
Gajah-gajah itu menatapku tajam. Lalu mereka kompak menjawab pertanyaanku. Mereka menjawab, kami bahagiaaa....selama masih ada daun yang bisa dipetik untuk dimakan. Selama masih ada ladang safana yang bisa kami tempati, kami bahagia. Meskipun akhirnya mati diburu manusia jahat tapi kami bahagia karena akan segera bertemu sang pemilik kehidupan. Menikmati setiap apapun yang diberikan oleh Tuhan kepada kami, mencari apapun hal positif yang bisa diambil dari semua ketetapan Tuhan. Maka kami bahagia.
Aku terus berjalan ke arah barat. Aku bersimpuh di ujung ufuk sang mentari yang hendak tenggelam. Tuhan, maafkan aku yang selalu mencari arti bahagia pada orang lain. Sejauh apapun aku melangkah tidak akan kutemukan bahagia selama diriku tak bisa menerima apapun yang kau tetapkan padaku.
Komentar
Posting Komentar