Ruangan
ukuran 2x3 meter itu begitu sempit dengan jarak dari ubin ke langit-langit yang
sudah bolong disana sini hanya sekitar 2,5 meter saja tingginya. Dinding bercat
putih yang sudah pudar dan mengelupas terkena hawa dingin pegunungan turut
menambah sumpek ruangan. Di tengah ruangan terdapat satu set kursi tua dengan
kayu yang sudah mulai lapuk dan busa yang sudah kempes tak lagi memberi
kenyamanan saat diduduki. Di salah satu sudut ruangan terdapat meja makan persegi
panjang yang sudah banyak bolong dimakan rayap menempel ke sudut dinding. Meja makan
yang polos tanpa dialas taplak apalagi vas bunga yang indah. Tiga buah kursi
tua mengelilingi meja tersebut. Kursi yang kondisinya tidak kalah usang dengan
meja makan dan set kursi tua yang terdapat di tengah ruangan.
Di sudut
ruangan yang lain terdapat gorden yang berfungsi sebagai penyekat ruangan. Di balik
gorden tersebut terbentang tikar dengan satu bantal. Tepat di depan kasur
terdapat lemari baju dari kayu tua dengan
3 susun rak baju di dalamnya. Di sudut lainnya ada sebuah meja dengan kompor
tungku di atasnya dan peralatan memasak seadanya. Jika dipotret dari atas maka
di dalam ruangan itu ada satu set kursi di tengah tengah dan di tiap sudut ada meja makan, kamar yang disekat dan meja kecil yang
terdapat kompor untuk memasak. Sementara satu sudut lainnya terdapat pintu keluar.
Tepat di sisi pintu keluar ada sebuah kamar mandi yang airnya langsung dari
gunung dengan bilah bambu sebagai pipa yang mengalirkan air. Tepat di bawah
pancuran ada ember kecil dengan gayung kecil di dalamnya
“Ri..kamu
yakin rumah ini tidak berpenghuni?”
“Iya aku
sudah periksa ke semua penjuru ruangan dan sekeliling, tidak ada tanda-tanda
ada manusia disana.”
“Tapi
Ri..aku koq takut ya.”
“Enggak apa-apa..kayaknya
aman. Daripada kita melewatkan waktu salat .” ujar Rian kepadaku.
Saya dan
Rian sedang menuju jalan pulang setelah mendaki gunung. Namun kami menempuh
jalur yang berbeda dengan jalan saat mendaki. Jalur ini belum pernah kami
tempuh sebelumnya. Sesudah menuruni gunung kami masuk ke sebuah jalan desa.
Kami pun menyusuri jalan tersebut. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 17.30 sore
menuju magrib. Kami berharap menemukan rumah penduduk untuk ikut menumpang salat
dan istirahat walau hanya di depan teras rumah. Di tengah perjalanan kami menemukan rumah ini.
Rasa tak percaya menyelimuti kami berdua. Beragam tanya muncul di dalam benak
kami, Mengapa di sepanjang jalan desa ini tidak ada rumah yang lain. Siapa yang
menempati rumah itu ? Banyak pertanyaan dan semuanya hanya menyisakan rasa
penasaran.
Rian
memang anak yang pemberani. Barusan dia memeriksa seisi rumah yang pintunya
tidak terkunci. Saya tak berani masuk hanya menunggu di luar saja.
“Aman Gas,”
teriak Rian. Saya pun bergegas mendekat. Kami memutuskan untuk ikut mandi di
rumah tersebut. Namun tidak berani untuk masuk. Sebenarnya Rian ingin mengajak
saya masuk tetapi saya menolak. Saya bilang padanya bahwa tidak baik memasuki
rumah tidak berpenghuni dan kita tidak tahu siapa pemiliknya karena selain
tidak sopan juga khawatir terjadi apa-apa. Alhamdulillah Rian mendengar apa
yang saya katakan. Setelah ikut mandi dan solat di teras depan kami pun
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kami sangat penasaran dengan
lingkungan sekitar disini. Mengapa ada setapak jalan desa namun tidak satu pun
rumah yang bisa kami temui.
Setelah
berjalan kurang lebih 700 meter dari tempat kami menemui rumah tak berpenghuni
kami menemukan sebuah rumah panggung dengan nyala lampu cempor di dalamnya. Sambil
menengok ke arah rumah tersebut Rian berkata, “Gas..mau mampir gak?”
“Menurut
kamu bagaimana?” saya balik bertanya
“Jika ada
cahaya lampu di dalamnya berarti ada penghuninya nih,”
“Samperin
gak nih?”
Kita coba
yuk,”
Akhirnya
kami memutuskan untuk mendekati rumah tersebut. Rian mengetuk pintu sambil
mengucap salam. “Assalamualaikum.” Rian mengulanginya hingga 3 kali.
Terdengar
orang berdehem dari dalam rumah dengan suara bariton terdengar orang menjawab
salam.
“Waalaikum
Salam.” Kreek….pintu dibuka dari dalam. Nampak oleh kami seorang lelaki tua
membuka pintu. Dia memakai kain sarung dan baju koko. Dia menatap lekat ke arah
kami sambil bertanya, “ Kalian ini siapa ?” “Perkenalkan pa, saya Rian dan ini teman saya
Gagas, kami baru mendaki gunung yang ada di sebelah utara desa ini.” Bapak tua
ini terdiam sejenak. “Kalian tidak mampir kemana-mana kan?” Kami terdiam,
antara takut namun ingin berkata jujur. Akhirnya saya berkata, “Kami tadi
mampir ke rumah di sebelah sana kek, menumpang mandi dan masuk melihat ke dalam.”
“Celaka.”
gumam sang kakek. “eh apa kek, kenapa ada apa?” kami serentak berseru. ‘Kalian
memasuki rumah keramat.” Sejenak lelaki itu masuk ke dalam rumah kemudian kembali
lagi sambil membawa 2 buah cincin berbatu akik. “Ini harus kalian pakai, segera
pergi dari sini dan kalian harus keluar dari desa ini sebelum subuh tiba.” ujar
lelaki tua tersebut sambil menyerahkan 2 batu ali tersebut kepada kami. “Apapun yang terjadi jangan
menengok ke belakang terus saja kalian berjalan ke arah timur itu adalah jalan untuk
keluar dari desa ini.” Kami berdua hanya bisa bengong tidak menduga akan masuk
ke dalam pusaran masalah yang sangat serius seperti ini. Memang ini semua kesalahan
saya dan Rian yang lancang memasuki rumah orang lain tanpa tahu pemiliknya.
Namun, sesal di akhir tiada berguna. Kami harus menghadapi apapun yang terjadi.
Setelah mengucapkan terima kasih, kamipun memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan.
Malam ini
kami harus melanjutkan perjalanan dengan penuh hati-hati dan konsentrasi.
Tujuan kami adalah tapal batas desa ini. Kami harus sampai di ujung jalan desa
sebelum subuh tiba seperti yang dikatakan oleh lelaki tua tadi. Saya dan Rian
tergesa berjalan ke arah timur. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam dan
suasana gelap tidak ada satu pun penerangan jalan yang bisa memberikan cahaya untuk
perjalanan kami. Namun untung saja sinar rembulan bulat sempurna dengan cahaya
putih yang terang benderang memandu perjalanan kami. Kami sudah jauh melangkah,
selama 3 jam berjalan di bawah bayang cahaya rembulan. Suara burung hantu
menemani perjalanan kami menyusuri jalan desa. Selama itu pula kami sibuk
dengan pikiran masing-masing. Diam membeku tidak ada yang bersuara. Semua fokus
menyusuri jalan. Saya dan Rian ingat betul pesan yang disampaikan oleh lelaki
tua tadi. Jam menunjukkan pukul 12 malam saat tiba-tiba sekilas terlihat
sekelebatan bayangan berlari di semak-semak pinggiran jalan yang kami lalui.
Rasanya ingin saya menoleh namun ingat pesan sang kakek tadi saya tak berani
menengoknya.
“Gas, aku
ingin buang air kecil, gimana nih.” tiba-tiba Rian berbisik.
“Duh kamu
ada-ada aja, ya udah kita berhenti dulu disini, cari tempat aman tapi ingat
pesan kakek tadi kamu jangan menoleh ke belakang,”
“Iya..iya..tunggu
disini aku gak bakal jauh menepi sebentar,” ujar Rian
Rian melangkah
agak ke depan dan sedikit minggir ke tepi jalan. Saya melarangnya pergi jauh
dari tempat kami berdiri semula. Saat mata saya memperhatikan Rian, tiba-tiba
pandangan saya tertuju pada sosok bayangan tadi. Sesosok bayangan perempuan
muda dengan rambut dicepol dan memakai kebaya hijau terlihat mendekati Rian.
Saya tercekat, rasanya ingin berteriak mengingatkan Rian tetapi entah mengapa tenggorokan
saya seperti mendadak tidak bisa mengeluarkan suara. Saya hanya bisa diam terpaku.
Rian tidak menyadari ada sesosok bayangan mendekatinya. Saat bayangan itu akan
memeluk Rian dari belakang entah kekuatan darimana saya berlari kencang ke
arahnya mendekapnya dari belakang dan
membawanya menjauh dari tempat dimana Rian berdiri.
“Hey Gas…aku
belum beres ini, kamu tuh ya main seret aja.” Seru Rian sambil tetap tidak
menoleh ke belakang. Rupanya dia masih ingat pesan kakek tua itu.
“Maaf
Rian..nanti saya cerita ya, kita harus segera melanjutkan perjalanan.”
Kami pun kembali
berjalan lurus mengikuti jalan desa tanpa menoleh ke belakang. Jalanan yang
kami lalui sangat sepi. Ya iyalah siapa juga yang mau melewatinya di tengah
malam begini. Sinar rembulan masih setia menemani. Setelah berjalan kurang
lebih 3 jam akhirnya kami melihat ada gapura dari kejauhan. Saya melihat jam
tangan waktu menunjukkan tepat jam 3 dini hari. Tanpa dikomando kami berdua
mengucapkan alhamdulillah karena itu pertanda bahwa sebentar lagi akan
meninggalkan desa ini. Saat tinggal beberapa ratus meter lagi dari gapura,
tiba-tiba Rian berseru,”Gaaas…….kakiku kram tidak bisa digerakkan.”
“Tenang
Rian..baca baca al fatihah,al ikhlas, an naas dan ayat kursi.”
Saya
yakin ini bukan kram biasa karena disaat yang bersamaan saya melihat sosok
perempuan berkebaya hijau lagi. Kali ini dia sempurna mendekap Rian dari
belakang sambil melihat ke arah saya dan tersenyum menyeringai. Ah …sial pikir saya
kenapa wanita itu mengikuti kami lagi. Darimana
dia ? Mau apa dia ? Mengapa mengejar Rian terus ? Berbagai pertanyaan
berkecamuk di kepalaku.
Saya dan
Rian terus membaca ayat qur’an dan doa-doa semampu kami. Saya berusaha memijat
kaki Rian dan membalurnya dengan minyak herba sinergi yang kami bekal dari
rumah. Saya tak hiraukan wanita si kebaya hijau itu yang terus mendekati Rian. Tiba-tiba saya teringat air bidara yang
dibawa dari rumah. Terburu-buru saya mengambilnya dari dalam tas lalu saya
lanjutkan doa-doa dan ditiupkan ke air bidara. Tanpa berpikir panjang saya
siramkan air tersebut ke arah wanita itu dan ke arah Rian. Seketika bayang wanita itu
menghilang dan Rian ambruk tak berdaya. Saya bergegas menggendong Rian, sekuat
tenaga berjalan cepat sambil menggendong Rian dan membawa 2 buah tas ransel.
Beban berat yang saya pikul seolah tidak terasa , fokus tujuan saya hanya satu
yaitu melewati gapura batas desa yang hanya tinggal sejengkal. Setelah berjalan
30 menit kami bisa melewati tapal batas desa.
Rian
masih tak berdaya. Setelah melewati batas desa sekitar 1 jam berjalan ke arah
timur, sayup-sayup terdengar suara azan subuh berkumandang. Saya segera mencari
masjid tersebut. Setelah dipandu arah suara, saya akhirnya menemukannya. Sebuah
mushola kecil dan di dalamnya sudah ada beberapa bapak-bapak yang akan
menunaikan salat subuh berjamaah. Saya duduk di teras musala sambil
beristirahat. Rian saya tidurkan tepat disebelah. Tas ransel saya letakkan dibekang
Rian yang sedang tertidur. Saya memutuskan untuk ikut salat bersama bapak-bapak
yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam. Setelah salat usai, semua mata
tertuju pada saya. Salah satu bapak yang terlihat umurnya paling tua
menghampiri dan bertanya, “ Ade siapa? Darimana? Dan kenapa temannya ? apa yang
terjadi?”
Setelah
saya meminta maaf karena ikut salat tanpa meminta ijin terlebih dahulu, saya
pun menceritakan semuanya dari awal kami turun gunung hingga sampai di musala
ini. Setelah saya bercerita seluruh yang ada di musala bergumam ”astaghfirullah”
namun kemudian berucap “alhamdulillah”. Bapak tetua itu berkata bahwa Rian
diikuti oleh penghuni rumah keramat yang ada di desa sebelah. Dan ternyata
kakek tua yang kami temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penunggu desa mati
tersebut. Menurut bapak tetua, kami beruntung bisa keluar dari desa tersebut. Bapak tetua
meminta batu ali yang diberikan oleh kakek tua semalam. Saya menyerahkannya
lalu sesaat kemudian tetua itu berkata bahwa cincin batu ali tersebut akan
dikubur agar tidak membebani. Batu itu ternyata memberi petunjuk bagi wanita
yang saya liat semalam agar bisa terus mengikuti kami. Tetua itu berkata bahwa
penyebab wanita itu mengikuti Rian karena Rian sudah memasuki rumah keramat
tersebut. Menjelang waktu duha, bapak tetua berusaha untuk membantu menyadarkan
Rian. Alhamdulillah berkat pertolonganya dan ijin Allah Rian bisa sadar dan
pulih. Ternyata dia tidak menyadari ada yang mengikuti dan mendekapnya dari
belakang. Namun saya tidak menceritakan hal itu khawatir mengganggu pikirannya
dan tidak mau naik gunung lagi. Pengalaman yang tidak ingin kami ulangi lagi
seumur hidup.
Komentar
Posting Komentar