Langsung ke konten utama

Sepenggal Kisah Perjalanan : Sebuah Cerpen

 

Ruangan ukuran 2x3 meter itu begitu sempit dengan jarak dari ubin ke langit-langit yang sudah bolong disana sini hanya sekitar 2,5 meter saja tingginya. Dinding bercat putih yang sudah pudar dan mengelupas terkena hawa dingin pegunungan turut menambah sumpek ruangan. Di tengah ruangan terdapat satu set kursi tua dengan kayu yang sudah mulai lapuk dan busa yang sudah kempes tak lagi memberi kenyamanan saat diduduki. Di salah satu sudut ruangan terdapat meja makan persegi panjang yang sudah banyak bolong dimakan rayap menempel ke sudut dinding. Meja makan yang polos tanpa dialas taplak apalagi vas bunga yang indah. Tiga buah kursi tua mengelilingi meja tersebut. Kursi yang kondisinya tidak kalah usang dengan meja makan dan set kursi tua yang terdapat di tengah ruangan.

Di sudut ruangan yang lain terdapat gorden yang berfungsi sebagai penyekat ruangan. Di balik gorden tersebut terbentang tikar dengan satu bantal. Tepat di depan kasur terdapat lemari baju dari kayu tua  dengan 3 susun rak baju di dalamnya. Di sudut lainnya ada sebuah meja dengan kompor tungku di atasnya dan peralatan memasak seadanya. Jika dipotret dari atas maka di dalam ruangan itu ada satu set kursi di tengah tengah dan di tiap sudut ada  meja makan, kamar yang disekat dan meja kecil yang terdapat kompor untuk memasak. Sementara satu sudut lainnya terdapat pintu keluar. Tepat di sisi pintu keluar ada sebuah kamar mandi yang airnya langsung dari gunung dengan bilah bambu sebagai pipa yang mengalirkan air. Tepat di bawah pancuran ada ember kecil dengan gayung kecil di dalamnya

“Ri..kamu yakin rumah ini tidak berpenghuni?”

“Iya aku sudah periksa ke semua penjuru ruangan dan sekeliling, tidak ada tanda-tanda ada manusia disana.”

“Tapi Ri..aku koq takut ya.”

“Enggak apa-apa..kayaknya aman. Daripada kita melewatkan waktu salat .” ujar Rian kepadaku.

Saya dan Rian sedang menuju jalan pulang setelah mendaki gunung. Namun kami menempuh jalur yang berbeda dengan jalan saat mendaki. Jalur ini belum pernah kami tempuh sebelumnya. Sesudah menuruni gunung kami masuk ke sebuah jalan desa. Kami pun menyusuri jalan tersebut. Saat itu waktu sudah menunjukkan jam 17.30 sore menuju magrib. Kami berharap menemukan rumah penduduk untuk ikut menumpang salat dan istirahat walau hanya di depan teras rumah.  Di tengah perjalanan kami menemukan rumah ini. Rasa tak percaya menyelimuti kami berdua. Beragam tanya muncul di dalam benak kami, Mengapa di sepanjang jalan desa ini tidak ada rumah yang lain. Siapa yang menempati rumah itu ? Banyak pertanyaan dan semuanya hanya menyisakan rasa penasaran.

Rian memang anak yang pemberani. Barusan dia memeriksa seisi rumah yang pintunya tidak terkunci. Saya tak berani masuk hanya menunggu di luar saja.

“Aman Gas,” teriak Rian. Saya pun bergegas mendekat. Kami memutuskan untuk ikut mandi di rumah tersebut. Namun tidak berani untuk masuk. Sebenarnya Rian ingin mengajak saya masuk tetapi saya menolak. Saya bilang padanya bahwa tidak baik memasuki rumah tidak berpenghuni dan kita tidak tahu siapa pemiliknya karena selain tidak sopan juga khawatir terjadi apa-apa. Alhamdulillah Rian mendengar apa yang saya katakan. Setelah ikut mandi dan solat di teras depan kami pun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kami sangat penasaran dengan lingkungan sekitar disini. Mengapa ada setapak jalan desa namun tidak satu pun rumah yang bisa kami temui.

Setelah berjalan kurang lebih 700 meter dari tempat kami menemui rumah tak berpenghuni kami menemukan sebuah rumah panggung dengan nyala lampu cempor di dalamnya. Sambil menengok ke arah rumah tersebut Rian berkata, “Gas..mau mampir gak?”

“Menurut kamu bagaimana?” saya balik bertanya

“Jika ada cahaya lampu di dalamnya berarti ada penghuninya nih,”

“Samperin gak nih?”

Kita coba yuk,”

Akhirnya kami memutuskan untuk mendekati rumah tersebut. Rian mengetuk pintu sambil mengucap salam. “Assalamualaikum.” Rian mengulanginya hingga 3 kali.

Terdengar orang berdehem dari dalam rumah dengan suara bariton terdengar orang menjawab salam.

“Waalaikum Salam.” Kreek….pintu dibuka dari dalam. Nampak oleh kami seorang lelaki tua membuka pintu. Dia memakai kain sarung dan baju koko. Dia menatap lekat ke arah kami sambil bertanya, “ Kalian ini siapa ?”  “Perkenalkan pa, saya Rian dan ini teman saya Gagas, kami baru mendaki gunung yang ada di sebelah utara desa ini.” Bapak tua ini terdiam sejenak. “Kalian tidak mampir kemana-mana kan?” Kami terdiam, antara takut namun ingin berkata jujur. Akhirnya saya berkata, “Kami tadi mampir ke rumah di sebelah sana kek, menumpang mandi dan masuk melihat ke dalam.”

“Celaka.” gumam sang kakek. “eh apa kek, kenapa ada apa?” kami serentak berseru. ‘Kalian memasuki rumah keramat.” Sejenak lelaki itu masuk ke dalam rumah kemudian kembali lagi sambil membawa 2 buah cincin berbatu akik. “Ini harus kalian pakai, segera pergi dari sini dan kalian harus keluar dari desa ini sebelum subuh tiba.” ujar lelaki tua tersebut sambil menyerahkan 2 batu ali tersebut  kepada kami. “Apapun yang terjadi jangan menengok ke belakang terus saja kalian berjalan ke arah timur itu adalah jalan untuk keluar dari desa ini.” Kami berdua hanya bisa bengong tidak menduga akan masuk ke dalam pusaran masalah yang sangat serius seperti ini. Memang ini semua kesalahan saya dan Rian yang lancang memasuki rumah orang lain tanpa tahu pemiliknya. Namun, sesal di akhir tiada berguna. Kami harus menghadapi apapun yang terjadi. Setelah mengucapkan terima kasih, kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan.

Malam ini kami harus melanjutkan perjalanan dengan penuh hati-hati dan konsentrasi. Tujuan kami adalah tapal batas desa ini. Kami harus sampai di ujung jalan desa sebelum subuh tiba seperti yang dikatakan oleh lelaki tua tadi. Saya dan Rian tergesa berjalan ke arah timur. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 9 malam dan suasana gelap tidak ada satu pun penerangan jalan yang bisa memberikan cahaya untuk perjalanan kami. Namun untung saja sinar rembulan bulat sempurna dengan cahaya putih yang terang benderang memandu perjalanan kami. Kami sudah jauh melangkah, selama 3 jam berjalan di bawah bayang cahaya rembulan. Suara burung hantu menemani perjalanan kami menyusuri jalan desa. Selama itu pula kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Diam membeku tidak ada yang bersuara. Semua fokus menyusuri jalan. Saya dan Rian ingat betul pesan yang disampaikan oleh lelaki tua tadi. Jam menunjukkan pukul 12 malam saat tiba-tiba sekilas terlihat sekelebatan bayangan berlari di semak-semak pinggiran jalan yang kami lalui. Rasanya ingin saya menoleh namun ingat pesan sang kakek tadi saya tak berani menengoknya.

“Gas, aku ingin buang air kecil, gimana nih.” tiba-tiba Rian berbisik.

“Duh kamu ada-ada aja, ya udah kita berhenti dulu disini, cari tempat aman tapi ingat pesan kakek tadi kamu jangan menoleh ke belakang,”

“Iya..iya..tunggu disini aku gak bakal jauh menepi sebentar,” ujar Rian

Rian melangkah agak ke depan dan sedikit minggir ke tepi jalan. Saya melarangnya pergi jauh dari tempat kami berdiri semula. Saat mata saya memperhatikan Rian, tiba-tiba pandangan saya tertuju pada sosok bayangan tadi. Sesosok bayangan perempuan muda dengan rambut dicepol dan memakai kebaya hijau terlihat mendekati Rian. Saya tercekat, rasanya ingin berteriak mengingatkan Rian tetapi entah mengapa tenggorokan saya seperti mendadak tidak bisa mengeluarkan suara. Saya hanya bisa diam terpaku. Rian tidak menyadari ada sesosok bayangan mendekatinya. Saat bayangan itu akan memeluk Rian dari belakang entah kekuatan darimana saya berlari kencang ke arahnya  mendekapnya dari belakang dan membawanya menjauh dari tempat dimana Rian berdiri.

“Hey Gas…aku belum beres ini, kamu tuh ya main seret aja.” Seru Rian sambil tetap tidak menoleh ke belakang. Rupanya dia masih ingat pesan kakek tua itu.

“Maaf Rian..nanti saya cerita ya, kita harus segera melanjutkan perjalanan.”

Kami pun kembali berjalan lurus mengikuti jalan desa tanpa menoleh ke belakang. Jalanan yang kami lalui sangat sepi. Ya iyalah siapa juga yang mau melewatinya di tengah malam begini. Sinar rembulan masih setia menemani. Setelah berjalan kurang lebih 3 jam akhirnya kami melihat ada gapura dari kejauhan. Saya melihat jam tangan waktu menunjukkan tepat jam 3 dini hari. Tanpa dikomando kami berdua mengucapkan alhamdulillah karena itu pertanda bahwa sebentar lagi akan meninggalkan desa ini. Saat tinggal beberapa ratus meter lagi dari gapura, tiba-tiba Rian berseru,”Gaaas…….kakiku kram tidak bisa digerakkan.”

“Tenang Rian..baca baca al fatihah,al ikhlas, an naas dan ayat kursi.”

Saya yakin ini bukan kram biasa karena disaat yang bersamaan saya melihat sosok perempuan berkebaya hijau lagi. Kali ini dia sempurna mendekap Rian dari belakang sambil melihat ke arah saya dan tersenyum menyeringai. Ah …sial pikir saya kenapa wanita itu mengikuti kami lagi.  Darimana dia ? Mau apa dia ? Mengapa mengejar Rian terus ? Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalaku.

Saya dan Rian terus membaca ayat qur’an dan doa-doa semampu kami. Saya berusaha memijat kaki Rian dan membalurnya dengan minyak herba sinergi yang kami bekal dari rumah. Saya tak hiraukan wanita si kebaya hijau itu yang terus mendekati  Rian. Tiba-tiba saya teringat air bidara yang dibawa dari rumah. Terburu-buru saya mengambilnya dari dalam tas lalu saya lanjutkan doa-doa dan ditiupkan ke air bidara. Tanpa berpikir panjang saya siramkan air tersebut ke arah wanita itu dan ke   arah Rian. Seketika bayang wanita itu menghilang dan Rian ambruk tak berdaya. Saya bergegas menggendong Rian, sekuat tenaga berjalan cepat sambil menggendong Rian dan membawa 2 buah tas ransel. Beban berat yang saya pikul seolah tidak terasa , fokus tujuan saya hanya satu yaitu melewati gapura batas desa yang hanya tinggal sejengkal. Setelah berjalan 30 menit kami bisa melewati tapal batas desa.

Rian masih tak berdaya. Setelah melewati batas desa sekitar 1 jam berjalan ke arah timur, sayup-sayup terdengar suara azan subuh berkumandang. Saya segera mencari masjid tersebut. Setelah dipandu arah suara, saya akhirnya menemukannya. Sebuah mushola kecil dan di dalamnya sudah ada beberapa bapak-bapak yang akan menunaikan salat subuh berjamaah. Saya duduk di teras musala sambil beristirahat. Rian saya tidurkan tepat disebelah. Tas ransel saya letakkan dibekang Rian yang sedang tertidur. Saya memutuskan untuk ikut salat bersama bapak-bapak yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam. Setelah salat usai, semua mata tertuju pada saya. Salah satu bapak yang terlihat umurnya paling tua menghampiri dan bertanya, “ Ade siapa? Darimana? Dan kenapa temannya ? apa yang terjadi?”

Setelah saya meminta maaf karena ikut salat tanpa meminta ijin terlebih dahulu, saya pun menceritakan semuanya dari awal kami turun gunung hingga sampai di musala ini. Setelah saya bercerita seluruh yang ada di musala bergumam ”astaghfirullah” namun kemudian berucap “alhamdulillah”. Bapak tetua itu berkata bahwa Rian diikuti oleh penghuni rumah keramat yang ada di desa sebelah. Dan ternyata kakek tua yang kami temui itu bukanlah manusia. Dia adalah penunggu desa mati tersebut. Menurut bapak tetua, kami beruntung  bisa keluar dari desa tersebut. Bapak tetua meminta batu ali yang diberikan oleh kakek tua semalam. Saya menyerahkannya lalu sesaat kemudian tetua itu berkata bahwa cincin batu ali tersebut akan dikubur agar tidak membebani. Batu itu ternyata memberi petunjuk bagi wanita yang saya liat semalam agar bisa terus mengikuti kami. Tetua itu berkata bahwa penyebab wanita itu mengikuti Rian karena Rian sudah memasuki rumah keramat tersebut. Menjelang waktu duha, bapak tetua berusaha untuk membantu menyadarkan Rian. Alhamdulillah berkat pertolonganya dan ijin Allah Rian bisa sadar dan pulih. Ternyata dia tidak menyadari ada yang mengikuti dan mendekapnya dari belakang. Namun saya tidak menceritakan hal itu khawatir mengganggu pikirannya dan tidak mau naik gunung lagi. Pengalaman yang tidak ingin kami ulangi lagi seumur hidup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Artikel

  Judul : 3 Hal Yang Perlu Diajarkan Pada Anak Dengan Cara Sederhana Nama Penulis : Indra Mahardika Sumber : https://www.kompasiana.com/indramahardika/628b92fdf1f29865a91a1232/3-hal-yang-perlu-diajarkan-pada-anak-dengan-cara-sederhana?page=all#section2 Tahun terbit :   Mei 2022   Dalam menjalankan biduk rumah tangga pendidikan anak adalah salah satu hal terpenting dan   menjadi fokus perhatian para orang tua yang sudah mempunyai keturunan. Pendidikan anak dalam keluarga adalah kewajiban utama bagi   ayah dan ibu dalam keluarga terutama di masa –masa golden ages. Masalah penanaman karakter dan budi perkerti serta melatih kemandirian anak tidak bisa diwakilkan oleh pengasuh. Sesibuk apapun orang tua mereka harus mempunyai waktu untuk bercengkrama dan waktu khusus dengan anak-anak. Contoh dan suri tauladan adalah pendidikan terbaik dari orang tua kepada anak-anak.   Membaca sebuah artikel dari website kompasiana yang ditulis oleh salah satu kon...

Perjalanan ke Perpusnas

  Sumber foto : Dokumen Pribadi Hari ini saya membersamai anak-anak sekolah tempat saya bekerja mengunjungi Perpustakaan Nasional di Jakarta. Perpustakaan yang kami kunjungi adalah perpustakaan yang terletak di jalan Medan Merdeka Selatan letaknya persis stasiun kereta api Gambir. Kami berangkat dari Sukabumi jam 05.00 sehabis solat subuh dengan 2 mobil hi ace dan 1 mobil minibus. Perjalanan ke Perpusnas ini membawa 31 orang siswa yang tergabung dalam unit kegiatan Duta Literasi dan Eskul Book Club. Sampai di Jakarta jam 08.00 pagi sementara Perpusnas baru buka pada jam 09.00 maka kami pun menunggu sekitar 1 jam. Kami memutuskan mengadakan briefing terlebih dahulu. Dalam briefing dijelaskan beberapa kesepakatan serta tata tertib agar kunjungan berlangsung aman dan lancar. Siswa dibuat dalam beberapa kelompok dengan satu koordinator untuk memudahkan koordinasi. Lantai pertama yang kami tuju adalah lantai 2. Seluruh siswa yang belum mendaftar jadi anggota Perpusnas melakukan pend...

Buku Bajakan : Beberapa Tips Mengenali dan Menghindarinya

  Buku bajakan memang tak bisa dipungkiri sangat banyak beredar di negara kita. Hal ini didukung oleh belum kuatnya penerapan regulasi aturan tentang Undang-Undang Hak Cipta di lapangan. Hal ini dibuktikan pula oleh banyaknya marketplasce yang masih bebas memperjualbelikan buku-buku bajakan di lapak jualan onlinenya. Tere Liye penulis kenamaan di Indonesia sampai menulis satu novel khusus yang berlatar belakang tema pembajakan. Novel tersebut berjudul Selamat tinggal. Novel ini pun sudah saya review di artikel sebelumnya. Sebagai seorang pustakawan, saya menerapkan kebijakan yang tidak bisa ditawar untuk koleksi perpustakaan yang dikelola. Koleksi buku perpustakaan tidak boleh buku bajakan karena perpustakaan harus menghargai hak cipta si penulis buku. Dengan membeli buku original atau asli maka royalti akan masuk ke penulis tersebut. Sebaliknya jika kita membeli buku bajakan maka royalti tidak akan masuk dan menjadi penghasilan penulis. Menulis buku dan ide menulis itu mahal. Me...